Hati-hati jika Anda kini di usia lanjut masih hidup melajang alias jomblo. Lantas benarkah hidup jomblo atau melajang bisa menyebabkan kepikunan? Hidup melajang hingga usia paruh baya tidak hanya membuat seseorang merasa kesepian, tapi ternyata juga meningkatkan risiko terkena demensia alias kepikunan. Kesimpulan tersebut didapat dari hasil penelitian tim peneliti dari Karolinska Institute, Swedia, yang dipimpin oleh Dr. Krister Hakansson, yang melibatkan 1,449 responden.
Dari hasil penelitian, terbukti rendahnya frekuensi interaksi social ataupun dalam berpasangan, maka dapat mempengaruhi usia kepikunan. Selain itu, ancaman kepikunan tiga kali lebih tinggi pada duda atau janda yang terus melajang hingga lanjut usia. Kepikunan juga melanda enam kali lipat berisiko terhadap janda muda yang tidak kunjung menikah, dibandingkan dengan yang sudah memiliki pasangan.
Demensia sendiri merupakan sindrom penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan penurunan kualitas kognitif dan fungsional sehingga memicu terjadinya gangguan fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas sehari-hari. Demensia disebabkan oleh banyak hal seperti penyakit jantung, paru, ginjal, gangguan darah, infeksi gangguan nutrisi, berbagai jenis keracunan, stroke, infeksi, dan proses degenerasi otak. Sedangkan degenerasi otak yang paling ditakuti adalah demensia Alzheimer, yang mampu mematikan sel-sel otak sehingga mampu menurunkan daya ingat, kemampuan berpikir, dan perubahan perilaku.
Seorang psikiater di salah satu rumah sakit di Jakarta, Dr Suryo Dharmono SpKJ, menyatakan gangguan perilaku yang sering ditemukan penderita demensia alzheimer, antara lain: perilaku agresif, seperti menjadi galak dan kasar, suka keluyuran tanpa tujuan, gelisah, mondar-mandir, senang menimbun barang, sering berteriak-teriak tengah malam, mengulang-ulang pertanyaan, kehilangan sopan santun, dan penderita tidak mau ditinggal sendirian.
Suryo menambahkan, untuk pencegahan penyakit demensia ini, terutama demensia Alzheimer, disarankan untuk memilih makanan yang baik untuk otak, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan tentunya aktif berolahraga. Selain itu, walaupun sudah menginjak usia paruh baya, tetap rajin menstimulasi fungsi kognitif otak, seperti memabaca, menulis, mengembangkan hobi, sering pergi ke tempat ramai untuk mengenali obyek baru, dan tetap bersosialisasi dengan orang lain. Hal ini tentunya sebagai langkah preventif agar memperlambat penurunan kualitas otak.
2. Otak Mengalami Penyusutan Volume Sejak Remaja
Penelitian yang dilakukan di Sekolah Tinggi Teknik Rhein-Westfalen-RWTH Aachen menunjukan, mulai usia 18 tahun, otak manusia sudah mengalami perubahan. Volume otak mulai berkurang pada usia remaja, yang yakni pada umur 18 tahun menurut undang-undang Jerman baru saja memasuki masa dewasa. Penelitian terhadap 51 relawan lelaki berusia antara 18 hingga 51 tahun menggunakan peralatan tomografi resonansi magnetik - MRT menunjukan fenomena tsb.
Para ilmuwan memang secara terarah hanya meneliti relawan lelaki. Karena diketahui terdapat perbedaan struktur otak pada lelaki dan perempuan. Pada monitor komputer terlihat citra otak para relawan. Tim peneliti yang dipimpin ahli saraf Prof.Katrin Amunts memiliki sasaran, dengan memilih relawan yang jenis kelaminnya sama, dapat diperbandingkan kondisi otak pada setiap tingkatan umur. Penelitian yang dilakukan Sekolah Tinggi Teknik RWTH Aachen bekerjasama dengan pusat riset ilmu pengetahuan Jülich, berhasil menemukan data terbaru yang menarik.
Prof Katrin Amunts menjelaskan: "Kami untuk pertama kali dapat menunjukan, bahwa otak pada usia relatif muda antara 18 hingga 51 tahun sudah mengalami perubahan. Selama ini kami mengetahui, otak manula berusia antara 60 hingga 80 tahun yang mengalami perubahan. Juga kami mengetahui volume wilayah tertentu dalam otak menyusut. Yang terbaru dalam penelitian sekarang, volume otak itu sejak usia muda sudah berubah." Dengan itu, para peneliti berhasil menemukan sebuah mata rantai yang masih hilang dalam penelitian otak.
Penyebabnya, walaupun sejauh ini sudah banyak pengetahuan mengenai proses degenerasi otak manusia, namun belum diketahui bagaimana perkembangan otak pada remaja yang baru meningkat dewasa. Memang jumlah responden dalam penelitian itu tergolong relatif kecil. Akan tetapi hasil yang diperoleh sudah cukup signifikan untuk menutupi celah keilmuan di bidang penelitian otak manusia. Selama ini, penelitian penurunan fungsi otak lebih banyak difokuskan pada manusia berusia 60 ke atas.
Pakar ilmu saraf dari RWTH Aachen, Prof. Katrin Amunts menjelaskan lebih lanjut : "Kami tentu saja sudah mengetahui, bahwa otak mengalami pertumbuhan dan perubahan besar di masa kanak-kanak dan remaja. Akan tetapi rentang waktu antara umur 20 hingga 60 tahun, sejauh ini relatif jarang diteliti. Karena itu tidak banyak diketahui, apakah otak pada saat pertumbuhan juga mengalami perubahan. Kami dapat menunjukkan, terjadinya perubahan volume otak dalam ukuran milimeter kubik yang dimulai pada usia masih muda."
Kesimpulan penelitian, otak berkurang volumenya sejak usia 18 tahun. Terutama sejumlah wilayah dalam otak yang menunjukan dengan tegas penyusutan volume itu. Pakar fisika Peter Pieperhoff bahkan dapat mengukur dengan akurat, bahwa otak manusia menyusut volumenya sekitar 0,2 persen setiap tahunnya. Pieperhoff menjelaskan lebih lanjut; "Terlihat terutama kawasan otak kecil maupun kawasan yang disebut unsur putih yang mengalami penyusutan. Ini adalah kawasan yang penting bagi pengawasan gerakan khususnya gerak motorik halus. Jadi gerakan yang memerlukan pengendalian amat akurat."
Pertanyaan yang muncul adalah, berkaitan dengan penyusutan volume otak manusia sejak usia 18 itu, apakah kemampuannya juga terus menurun? Apakah berarti semua mahasiswa baru justru sedang memasuki masa penurunan fungsi berfikir?
Penyusutan volume otak, ternyata tidak berkaitan langsung dengan penurunan kemampuan kognitif maupun fungsi gerak motorik. Prof. Katrin Amunts menegaskan, penyusutan volume otak tidak otomatis berarti menurunnya kemampuan otak. Penjelasan yang paling logis adalah, otak semakin pintar sehingga tidak memerlukan jaringan otak sebanyak sebelumnya. Tapi semua aksioma itu tetap harus diteliti lagi, untuk membuktikan kebenarannya.
Dengan penelitian terbaru, juga diharapkan dapat diperoleh pengetahuan baru menyangkut penyakit otak. Sasaran jangka panjang dari para peneliti otak di sekolah tinggi teknik Aachen dan pusat riset ilmu pengetahuan Jüllich adalah, dapat mendeteksi dini penyakit degenerasi otak seperti Parkinson dan Alzheimer. Sebab penyakit menurun drastisnya kemampuan berfikir dan fungsi otak itu, tidak muncul hanya dalam semalam. Sejauh ini diketahui, sebelum gejala Alzheimer muncul ke permukaan, terdapat fase yang berlangsung sekitar 10 tahun, yang menunjukan perubahan drastis di dalam otak penderita. Namun orang sekitarnya tidak dapat melihat perubahan ini, karena kemampuan maupun perilaku penderita relatif tidak berubah. Prof Katrin Amunts menjelaskan: "Jika kita berusaha mencari terapi yang manjur, tentu saja kita harus berusaha sedini mungkin mengenali penyakit ini pada pasien bersangkutan. Untuk pembandingnya juga harus diketahui, bagaimana proses penuaan yang normal."
Sumber: Deutsche Welle, Kabar Indonesia dg sedikit penyesuaian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar